KALAU beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota
kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar.
Melangkahlah menyusuri jalan raya arah ke barat.Maka kira-kira sekilometer dari
pasar akan sampailah Tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil ke kanan,
simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan itu
nanti akan Tuan temui sebuah surau.Di depannya ada kolam ikan, yang airnya
mengalir melalui empat buah pancuranmandi. Dan di pelataran kiri surau itu akan
Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk disana dengan segala tingkah
ketuaanya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun iasebagai garin,
penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya Kakek.Sebagai penjaga surau, Kakek
tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya sekali se-Jumat.
Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasilpemunggahan ikan mas dari
kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrahId kepadanya. Tapi
sebagai garin ia tak begitu dikenal. Ia lebih dikenal sebagai pengasahpisau.
Karena ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta
tolongkepadanya, sedang ia tak pernah meminta imbalan apa-apa. Orang-orang
perempuan yangminta tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal
sebagai imbalan. Oranglaki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok,
kadang-kadang uang. Tapi yang palingsering diterimanya ialah ucapan terima
kasih dan sedikit senyum. Tapi kakek ini sudah tidakada lagi sekarang. Ia sudah
meninggal.Dan tinggallah surau itu tanpa penjaganya. Hingga anak-anak
menggunakannyasebagai tempat bermain, memainkan segala apa yang disukai mereka.
Perempuan yangkehabisan kayu bakar, sering suka mencopoti papan dinding atau
lantai di malam hari. JikaTuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran
yang mengesankan suatu kesucianyang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian cepat
berlangsungnya. Secepat anak-anak berlari didalamnya, secepat perempuan
mencopoti pekayuannya. Dan yang terutama ialah sifat masabodoh manusia
sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak dijaga lagi. Dan
biangkeladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal
kebenarnya.Beginilah kisahnya. Sekali hari aku datang pula mengupah kepada
Kakek. BiasanyaKakek gembiri menerimaku, karena aku suka memberinya uang. Tapi
sekali ini Kakek begitumuram. Di sudut benar ia duduk dengan lututnya menegak
menopang tangan dan dagunya.Pandangannya sayu ke depan, seolah-olah ada sesuatu
yang mengamuk pikirannya. Sebuahbelek susu yang berisi minyak kelapa, sebuah
asahan halus, kulit sol panjang, dan pisau cukurtua berserakan di sekitar kaki
Kakek. Tidak pernah aku melihat Kakek begitu durja dan belumpernah salamku tak
disahutinya seperti saat itu.Kemudian aku duduk di sampingnya dan aku jamah
pisau itu. Dan aku tanya Kakek,"Pisau siapa, Kek?""Ajo
Sidi.""Ajo Sidi?"Kakek tak menyahut.Maka aku ingat Ajo Sidi, si
pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku inginketemu dia lagi. Aku
senang mendengar bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang terjadi
karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses
terbesarbaginya ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya menjadi
model orang untukdiejek dan ceritanya menjadi pameo akhirnya. Ada-ada saja
orang-orang di sekitar kampungkuyang cocok dengan watak pelaku-pelaku
ceritanya. Ketika sekali ia menceritakan bagaimanasifat seekor katak, dan
kebetulan ada pula seorang yang ketagihan jadi pemimpin berkelakuanseperti
katak itu, maka untuk selanjutnya pemimpin tersebut kami sebutkan pemimpin
katak.Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya.
Apakah Ajo Sidi telah membuat bualan tentang Kakek? Dan bualan itukah yang
mendurjakan Kakek? Akuingin tahu. Lalu aku tanya Kakek lagi,"Apa
ceritanya, Kek?""Siapa?""Ajo Sidi.""Kurang ajar
dia." Kakek menjawab."Kenapa?" "Mudah-mudahan pisau cukur
ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggorohtenggoroknya.""Kakek
marah?""Marah? Ya, kalau aku masih muda, tapi aku sudah tua. Orang
tua menahan ragam.Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku
rusak karenanya, ibadatkurusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik,
beribadat, bertawakal kepada Tuhan.Sudah begitu lama aku menyerahkan diriku
kepada-Nya. Dan Tuhan akan mengasihi orangyang sabar dan tawakal."Ingin tahuku
dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Akutanya lagi
Kakek:"Bagaimana katanya, Kek?" Tapi Kakek diam saja. Berat hatinya
bercerita barangkali.Karena aku telah berulang-ulang bertanya, lalu ia yang
bertanya padaku."Kau kenal padaku, bukan? Sedari kecil aku sudah di sini.
Sedari mudaku, bukan? Kautahu apa yang kulakukan semua, bukan? Terkutukkah
perbuatanku? Dikutuki Tuhankah semuapekerjaanku?"Tapi aku tak perlu
menjawabnya lagi. Sebab aku tahu, kalau Kakek sudah membukamulutnya, di takkan
diam lagi. Aku biarkan Kakek dengan pertanyaanya sendiri."Sedari mudaku
aku di sini, bukan? Tak kuingat punya istri, punya anak, punyakeluarga seperti
orang-orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin carikaya,
bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah
Subhanahuwata'ala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan
aku membunuhnya.Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka.
Marahkah Tuhan kalau itu yangkulakukan, sangkamu? Akan dikutukinya aku kalau
selama hidupku aku mengabdi kepada-Nya? Tak Kupikirkan hari esokku, karena aku
yakin Tuhan itu ada dan pengasih penyayangkepada umat-Nya yang tawakal. Aku
bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul bedukmembangunkan manusia dari tidurnya,
supaya bersujud kepada-Nya. Aku sembahyang setiapwaktu. Aku puji-puji Dia. Aku
baca Kitab-Nya. Alhamdulillah kataku bila aku menerimakarunia-Nya.
Astagfirullah kataku bila aku terkejut. Masya-Allah, kataku bila aku
kagum.Apalah salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia
terkutuk."Ketika Kakek terdiam agak lama, aku menyelakan tanyaku,"Ia
katakan Kakek begitu, Kek?""Ia tak mengatakan aku terkutuk. Tapi
begitulah kira-kiranya."Dan aku melihat mata Kakek berlinang. Aku jadi
belas kepadanya. Dalam hatiku akumengumpati Ajo Sidi. Tapi aku lebih ingin
mengetahui apa ceritanya Ajo Sidi yang begitumemukuli hati Kakek.Dan ingin
tahuku menjadikan aku nyinyir bertanya. Dan akhirnya Kakek bercerita juga.
“Pada suatu waktu,” kata Ajo Sidi memulai, “di akhirat, Tuhan Allah memeriksa
orang-orang yang sudah berpulang. Para malaikat bertugas di samping-Nya. Di
tangan merekatergenggam daftar dosa dan pahala manusia. Begitu banyaknya orang
yang diperiksa.Maklumlah di mana-mana ada perang.Dan di antara orang-orang yang
diperiksa itu ada seorang yang di dunia dinamai HajiSaleh. Haji Saleh itu
tersenyum-senyum saja, karena ia sudah begitu yakin akan dimasukkanke surga.
Kedua tangannya ditopangkan di pinggang sambil membusungkan dada danmenekurkan
kepala ke kuduk. Ketika dilihatnya orang-orang yang masuk neraka, bibirnya
menyunggingkan senyum ejekan. Dan ketika ia melihat orang yang masuk surga,
iamelambaikan tangannya, seolah hendak mengatakan “selamat ketemu nanti”. Bagai
tak habis-habisnya orang yang berantri begitu panjangnya. Susut di muka,
bertambah yang di belakang.Dan Tuhan memeriksa dengan segala sifat-Nya.
Akhirnya sampailah giliran Haji Saleh. Sambiltersenyum bangga ia menyembah
Tuhan. Lalu Tuhan mengajukan pertanyaan pertama."Engkau?""Aku
Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.""Aku tidak
tanya nama. Nama bagiku tak perlu. Nama hanya buat engkau di
dunia.""Ya, Tuhanku.""Apa kerjamu di dunia?""Aku
menyembah Engkau selalu, Tuhanku.""Lain?""Setiap hari,
setiap malam, bahkan setiap masa aku menyebut-nyebut
nama-Mu.""Lain?""Segala tegah-Mu, kuhentikan, Tuhanku. Tak
pernah aku berbuat jahat, walaupun duniaseluruhnya penuh oleh dosa-dosa yang
dihumbalangkan iblis laknat itu.""Lain?""Ya, Tuhanku, tak
ada pekerjaanku selain daripada beribadat menyembah-Mu,menyebut-nyebut nama-Mu.
Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit, nama-Mu menjadi buahbibirku juga. Dan
aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu untuk
menginsafkanumat-Mu.""Lain?"Haji Saleh tak dapat menjawab lagi.
Ia telah menceritakan segala yang ia kerjakan.Tapi ia insaf, bahwa pertanyaan
Tuhan bukan asal bertanya saja, tentu ada lagi yang belumdikatakannya. Tapi
menurut pendapatnya, ia telah menceritakan segalanya. Ia tak tahu lagiapa yang
harus dikatakannya. Ia termenung dan menekurkan kepalanya. Api neraka
tiba-tibamenghawakan kehangatannya ke tubuh Haji Saleh. Dan ia menangis. Tapi
setiap air matanyamengalir, diisap kering oleh hawa panas neraka itu."Lain
lagi?" tanya Tuhan."Sudah hamba-Mu ceritakan semuanya, o, Tuhan yang
Mahabesar, lagi Pengasih danPenyayang, Adil dan Mahatahu."Haji Saleh yang
sudah kuyu mencobakan siasat merendahkan diri dan memuji Tuhandengan
pengharapan semoga Tuhan bisa berbuat lembut terhadapnya dan tidak salah
tanyakepadanya. Tapi Tuhan bertanya lagi: "Tak ada lagi?""O, o,
ooo, anu Tuhanku. Aku selalu membaca Kitab-Mu.""Lain?"
"Sudah kuceritakan semuanya, o, Tuhanku. Tapi kalau ada yang aku
lupamengatakannya, aku pun bersyukur karena Engkaulah yang
Mahatahu.""Sungguh tidak ada lagi yang kaukerjakan di dunia selain
yang kauceritakan tadi?""Ya, itulah semuanya,
Tuhanku.""Masuk kamu."Dan malaikat dengan sigapnya menjewer Haji
Saleh ke neraka. Haji Saleh tidakmengerti kenapa ia dibawa ke neraka. Ia tak
mengerti yang dikehendaki Tuhan daripadanyadan ia percaya Tuhan tidak silap.
Alangkah tercenggangnya Haji Saleh, karena di neraka itubanyak teman-temannya
di dunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan ia tambah takmengerti lagi
dengan keadaan dirinya, karena semua orang-orang yang dilihatnya di neraka
itutak kurang ibadatnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah
sampai empatbelas kali ke Mekah dan bergelar syekh pula.Lalu Haji Saleh
mendekati mereka, dan bertanya kenapa mereka dinerakakansemuanya. Tapi
sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itu pun, tak mengerti juga."Bagaimana
Tuhan kita ini?" kata Haji Saleh kemudian, “Bukankah kita disuruhnya-Nya
taat beribadat, teguh beriman? Dan itu semua sudahkita kerjakan selama hidup
kita. Tapi kini kita dimasukkan-Nya ke neraka.” “Ya, kami juga heran. Tengoklah
itu orang-orang se-negeri dengan kita semua, dan tak kurang ketaatannya
beribadat.” “Ini sungguh tidak adil.” “Memang tidak adil,” kata orang-orang itu
mengulangi ucapan Haji Saleh. “Kalau begitu, kita harus minta kesaksian atas
kesalahan kita.” “Kita harus mengingatkan Tuhan, kalau-kalau Ia silap
memasukkan kita ke neraka ini.” “Benar. Benar. Benar.” Sorakan yang lain
membenarkan Haji Saleh. “Kalau Tuhan tak mau mengakui kesilapan-Nya,
bagaimana?” suatu suara melengkingdi dalam kelompok orang banyak itu. “Kita
protes. Kita resolusikan,” kata Haji Saleh. “Apa kita revolusikan juga?” tanya
suara lain, yang rupanya di dunia menjadi pemimpingerakan revolusioner. “Itu
tergantung pada keadaan,” kata Haji Saleh. “Yang penting sekarang, mari kita
berdemontrasi menghadap Tuhan.” “Cocok sekali. Di dunia dulu dengan demontrasi
saja banyak yang kita peroleh,” sebuahsuara menyela. “Setuju. Setuju. Setuju.”
Mereka bersorak beramai-ramai. Lalu mereka berangkatlah bersama-sama
menghadapTuhan. Dan Tuhan bertanya. “Kalian mau apa?” Haji Saleh yang jadi
pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suaramenggeletar dan
berirama indah, ia memulai pidatonya: “O, Tuhan kami yang Mahabesar. Kami yang
menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yangpaling taat beribadat, yang paling taat
menyembah-Mu. Kamilah orang-orang yang selalumenyebut nama-Mu, memuji-muji
kebesaran-Mu, mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya. Kitab-Mu kami
hafal di luar kepala kami. Tak sesat sedikit pun kami membacanya.Akan tetapi,
Tuhanku yang Mahakuasa, setelah kami Engkau panggil kemari, Engkaumasukkan kami
ke neraka. Maka sebelum terjadi hal-hal yang tak diingini, maka di sini,
atasnama orang-orang yang cinta pada-Mu, kami menuntut agar hukuman yang
Kaujatuhkankepada kami ditinjau kembali dan memasukkan kami ke surga
sebagaimana yang Engkau janjikan dalam Kitab-Mu.” “Kalian di dunia tinggal di
mana?” tanya Tuhan. “Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia,
Tuhanku.” “O, di negeri yang tanahnya subur itu?” “Ya, benarlah itu, Tuhanku.”
“Tanahnya yang mahakaya-raya, penuh oleh logam, minyak dan berbagai
bahantambang lainnya bukan?” “Benar. Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri
kami.” Mereka mulai menjawabserentak. Karena fajar kegembiraan telah membayang
di wajahnya kembali. Dan yakinlahmereka sekarang, bahwa Tuhan telah silap
menjatuhkan hukuman kepada mereka itu. “Di negeri, di mana tanahnya begitu
subur, hingga tanaman tumbuh tanpa ditanam?” “Benar. Benar. Benar. Itulah
negeri kami.” “Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.” “Negeri yang lama diperbudak
orang lain?” “Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.” “Dan hasil
tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkutnya ke negerinya,bukan?” “Benar,
Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.” “Di
negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi,
sedanghasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?” “Benar, Tuhanku.
Tapi bagi kami soal harta benda itu kami tak mau tahu. Yang pentingbagi kami
ialah menyembah dan memuji Engkau.” “Engkau rela tetap melarat, bukan?” “Benar.
Kami rela sekali, Tuhanku.” “Karena kerelaanmu itu, anak cucumu tetap juga
melarat, bukan?” “Sungguhpun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua
pintar mengaji. Kitab-Mumereka hafal di luar kepala.”
“Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak
dimasukkan ke hatinya, bukan?” “Ada, Tuhanku.” “Kalau ada, kenapa engkau
biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniayasemua. Sedang harta bendamu
kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka.Dan engkau lebih suka
berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku berikau
negeri yang kaya-raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena
beribadattidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh
engkau semuanyaberamal di samping beribadat. Bagaimana engkau bisa beramal
kalau engkau miskin. Engkaukira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja,
hingga kerjamu lain tidak memuji-muji danmenyembahku saja. Tidak. Kamu semua
mesti masuk neraka. Hai, Malaikat, halaulah merekaini kembali ke neraka.
Letakkan di keraknya.” Semua jadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi.
Tahulah mereka sekarang apa jalan yang diredhai Allah di dunia. Tapi Haji Saleh
ingin juga kepastian apakah yangdikerjakannya di dunia itu salah atau
benar.Tapi ia tak berani bertanya kepada Tuhan. Ia bertanya saja pada malaikat
yangmengiring mereka itu."Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami
menyembah Tuhan di dunia?" tanya HajiSaleh."Tidak. Kesalahan engkau,
karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kautakut masuk neraka,
karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupankaummu
sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu
kucar-kacirselamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal
engkau di duniaberkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak memperdulikan
mereka sedikit pun."...Demikian cerita Ajo Sidi yang kudengar dari Kakek.
Cerita yang memurungkan Kakek.Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah
pagi-pagi, istriku berkata apa aku tak pergimenjenguk."Siapa yang
meninggal?" tanyaku kaget."Kakek.""Kakek?""Ya.
Tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang
mengerikansekali. Ia menggoroh lehernya dengan pisau cukur.""Astaga.
Ajo Sidi punya gara-gara," kataku seraya cepat-cepat meninggalkan
istrikuyang tercengang-cengang. Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku
berjumpa sama istrinyasaja. Lalu aku tanya dia."Ia sudah pergi,"
jawab istri Ajo Sidi."Tidakkah ia tahu Kakek meninggal?""Sudah.
Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh
lapis.""Dan sekarang," tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar
segala peristiwa olehperbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung
jawab, "dan sekarang ke mana dia?""Kerja""Kerja?"
tanyaku mengulangi hampa."Ya. Dia pergi kerja."[]